Mario Teguh
Engkau yang merasa entah mengapa, kehilangan tenaga dan keinginan untuk melakukan sesuatu yang penting bagi hidupmu, dengarlah ini …
Kehidupan ini berlanjut.
Apakah engkau mengeluhkannya, memprotesnya, atau mensyukurinya, … kehidupan ini berlanjut.
Tapi engkau tak sendiri.
Ketahuilah bahwa di balik cadar keanggunan, atau tameng kegagahan, dan di balik semua keceriaan dan tawa lantang yang menggema dalam pergaulan yang popular itu, … sesungguhnya banyak tergelatak hati yang galau, yang tak bertenaga, yang letih dengan kepura-puraan, yang ingin berteriak seliar-liarnya, yang ingin berlari kencang membuta menghilangkan diri, dan yang ingin menangis sejadi-jadinya di tengah seramai-ramainya kerumunan.
Sesungguhnya engkau tak sendiri, maka kasihilah sesamamu sebagaimana engkau seharusnya mengasihi dirimu sendiri.
Sesungguhnya tidak mudah menjadi dirimu.
Orang di sekitarmu menuntutmu untuk memenuhi standar mereka tentang apa yang disebut berhasil, mecemoohmu jika engkau tak tampil seperti telah berhasil, menertawakan impian-impianmu, meragukan kesungguhanmu, dan menuntutmu menggembirakan mereka dengan menelantarkan kebutuhanmu untuk hidup damai dengan dirimu.
Kasihilah dirimu.
Janganlah memarahinya karena kesalahan yang tak disengajanya, atau yang dilakukannya karena ketidak-tahuannya.
Bersabarlah dengan kelambanannya dalam memperbaiki dirinya.
Bukankah engkau yang selalu mengatakan bahwa manusia itu tak sempurna? Lalu, mengapakah engkau memarahinya karena ketidak-sempurnaannya?
Dirimu itu paling membutuhkan kelembutanmu.
Apakah engkau tak merasa kasihan melihat upayanya untuk menggembirakan orang-orang tamak yang sombong, yang lebih kaya darimu, yang diharapkannya akan melebihkan pemberian kepadamu jika dia melebihkan tawa dan pujian bagi mereka?
Dirimu itu sesungguhnya telah letih melayanimu, yang banyak bermimpi tapi malas bertindak, yang banyak memprotes tapi mudah tersinggung, dan yang minder tapi sombong.
Turunkanlah suaramu sebentar, dan berbicaralah dalam nada suara yang lebih penyayang kepada dirimu.
Turunkanlah hidung dan wajahmu yang banyak mendongak untuk mengesankan rasa percaya diri itu, dan ramahkanlah wajahmu saat engkau melihatnya di cermin.
Berlakulah lebih jujur kepada dirimu.
Inginkanlah yang besar, tapi ikhlaslah melakukan yang sederhana dan yang dalam kemampuanmu untuk melakukan.
Bersegeralah melakukan yang kau rencanakan dan setialah mengerjakannya sampai selesai, agar dirimu mempercayai janji-janjimu kepadanya.
Duduklah lebih dekat dengan dirimu sendiri. Bersahabatlah dengannya.
Janganlah engkau membuatnya merasa tak kau butuhkan,karena kau sesali semua kekurangannya, sambil melupakan kelebihan dan kebaikannya.
Minta-maaflah kepada dirimu.
Dari semua yang paling membutuhkan permintaan maaf atas kesemena-menaan cara hidupmu, adalah dirimu sendiri.
Mudah-mudahan, dalam persahabatan yang ramah, penuh hormat, dan penuh kasih dengan dirimu sendiri itu, Tuhan mengutuhkanmu dengan dirimu sendiri dalam satu kesadaran jiwa yang semakin mulia dengan semakin bertambahnya usiamu.
Karena sesungguhnya, engkau dan jiwamu itu satu.
Tapi kesejatian jiwamu yang mulia itu, terbelah menjadi seperti dua bagian yang saling tak mendamaikan.
Karena, kesejatian jiwamu itu tak mungkin menjadi tetap utuh, dengan kau ijinkannya nafsu yang buruk sebagai pengganti dari tenaga jiwamu yang suci.
Maka, dekatkanlah dirimu kepada Tuhan, sedekat-dekatnya, dalam kemanjaan yang syahdu, dan dalam keharuan tangis jiwamu yang jujur.
Karena, di dalam kedekatan itulah engkau disucikan.
Karena, Tuhanmu tak mengijinkan apa pun yang kotor mendekat kepadaNya.
Jiwamu yang dekat dan manja kepadaNya, akan dibersihkan.
Dan di dalam kebersihan jiwamu itulah kedamaianmu tumbuh.
Sekarang … tundukkanlah diri dan jiwamu, dalam semesra-mesranya sujud di hadapan Tuhanmu yang merindukan tangis manjamu.
Wahai jiwa yang tenang … indahkanlah senyum di wajahmu itu.
Tuhanmu sedang memandangimu dengan penuh kasih.
Engkau yang merasa entah mengapa, kehilangan tenaga dan keinginan untuk melakukan sesuatu yang penting bagi hidupmu, dengarlah ini …
Kehidupan ini berlanjut.
Apakah engkau mengeluhkannya, memprotesnya, atau mensyukurinya, … kehidupan ini berlanjut.
Tapi engkau tak sendiri.
Ketahuilah bahwa di balik cadar keanggunan, atau tameng kegagahan, dan di balik semua keceriaan dan tawa lantang yang menggema dalam pergaulan yang popular itu, … sesungguhnya banyak tergelatak hati yang galau, yang tak bertenaga, yang letih dengan kepura-puraan, yang ingin berteriak seliar-liarnya, yang ingin berlari kencang membuta menghilangkan diri, dan yang ingin menangis sejadi-jadinya di tengah seramai-ramainya kerumunan.
Sesungguhnya engkau tak sendiri, maka kasihilah sesamamu sebagaimana engkau seharusnya mengasihi dirimu sendiri.
Sesungguhnya tidak mudah menjadi dirimu.
Orang di sekitarmu menuntutmu untuk memenuhi standar mereka tentang apa yang disebut berhasil, mecemoohmu jika engkau tak tampil seperti telah berhasil, menertawakan impian-impianmu, meragukan kesungguhanmu, dan menuntutmu menggembirakan mereka dengan menelantarkan kebutuhanmu untuk hidup damai dengan dirimu.
Kasihilah dirimu.
Janganlah memarahinya karena kesalahan yang tak disengajanya, atau yang dilakukannya karena ketidak-tahuannya.
Bersabarlah dengan kelambanannya dalam memperbaiki dirinya.
Bukankah engkau yang selalu mengatakan bahwa manusia itu tak sempurna? Lalu, mengapakah engkau memarahinya karena ketidak-sempurnaannya?
Dirimu itu paling membutuhkan kelembutanmu.
Apakah engkau tak merasa kasihan melihat upayanya untuk menggembirakan orang-orang tamak yang sombong, yang lebih kaya darimu, yang diharapkannya akan melebihkan pemberian kepadamu jika dia melebihkan tawa dan pujian bagi mereka?
Dirimu itu sesungguhnya telah letih melayanimu, yang banyak bermimpi tapi malas bertindak, yang banyak memprotes tapi mudah tersinggung, dan yang minder tapi sombong.
Turunkanlah suaramu sebentar, dan berbicaralah dalam nada suara yang lebih penyayang kepada dirimu.
Turunkanlah hidung dan wajahmu yang banyak mendongak untuk mengesankan rasa percaya diri itu, dan ramahkanlah wajahmu saat engkau melihatnya di cermin.
Berlakulah lebih jujur kepada dirimu.
Inginkanlah yang besar, tapi ikhlaslah melakukan yang sederhana dan yang dalam kemampuanmu untuk melakukan.
Bersegeralah melakukan yang kau rencanakan dan setialah mengerjakannya sampai selesai, agar dirimu mempercayai janji-janjimu kepadanya.
Duduklah lebih dekat dengan dirimu sendiri. Bersahabatlah dengannya.
Janganlah engkau membuatnya merasa tak kau butuhkan,karena kau sesali semua kekurangannya, sambil melupakan kelebihan dan kebaikannya.
Minta-maaflah kepada dirimu.
Dari semua yang paling membutuhkan permintaan maaf atas kesemena-menaan cara hidupmu, adalah dirimu sendiri.
Mudah-mudahan, dalam persahabatan yang ramah, penuh hormat, dan penuh kasih dengan dirimu sendiri itu, Tuhan mengutuhkanmu dengan dirimu sendiri dalam satu kesadaran jiwa yang semakin mulia dengan semakin bertambahnya usiamu.
Karena sesungguhnya, engkau dan jiwamu itu satu.
Tapi kesejatian jiwamu yang mulia itu, terbelah menjadi seperti dua bagian yang saling tak mendamaikan.
Karena, kesejatian jiwamu itu tak mungkin menjadi tetap utuh, dengan kau ijinkannya nafsu yang buruk sebagai pengganti dari tenaga jiwamu yang suci.
Maka, dekatkanlah dirimu kepada Tuhan, sedekat-dekatnya, dalam kemanjaan yang syahdu, dan dalam keharuan tangis jiwamu yang jujur.
Karena, di dalam kedekatan itulah engkau disucikan.
Karena, Tuhanmu tak mengijinkan apa pun yang kotor mendekat kepadaNya.
Jiwamu yang dekat dan manja kepadaNya, akan dibersihkan.
Dan di dalam kebersihan jiwamu itulah kedamaianmu tumbuh.
Sekarang … tundukkanlah diri dan jiwamu, dalam semesra-mesranya sujud di hadapan Tuhanmu yang merindukan tangis manjamu.
Wahai jiwa yang tenang … indahkanlah senyum di wajahmu itu.
Tuhanmu sedang memandangimu dengan penuh kasih.